Hari ke-delapanbelas, Poli Psikologi Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit
08.00 Aku datang tepat waktu untuk jam kerja tim rehab, tetapi disini, di poli psikologi, aku telat 30 menit. Padahal aku sudah berusaha bangun lebih pagi dan jalan dengan cepat tadi di sepanjang perjalanan. Di dalam ruangan ada mba maria, mba citra, hanun, ayu, dan bu rena. Tidak lama kemudian status untuk pasien poli psikologi datang, tadinya hanya empat pasien, langsung aku dan ayu data di dokumen yang tersedia. Belum selesai mencatat, ternyata datang lagi status pasien baru. Psikolog yang praktek hari ini officially hanya bu Vina, jadi mba Maria perlu membicarakan perihal pasien yang bertubi tubi datang di hari ini. Alhasil, total pasien yang ditangani ada tujuh orang, dengan berbagai macam penanganan, misalnya tes IQ (baik untuk pasien normal atau disabilitas), atau konsultasi psikologi.
09.00 Ketika bu Rena datang, mba Maria berinisiatif agar bu Rena membantu satu atau dua pasien yang ditangani bu Vina, kemudian dengan bimbang ia memutuskan membantu tes satu pasien anak. Inisialnya F, ia ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Sebelum bu Rena pergi untuk memberi tes F, ia berbincang bincang bersama kami, mahasiswa magang. Kami bertanya mengenai disleksia, bu Rena menjelaskan dengan detil, disleksia adalah terganggunya kemampuan membaca seseorang, diakibatkan adanya persepsi yang salah pada memori dalam otak. Biasanya dapat dilihat dalam tes IQ, pada bagian tes performance nya yang kurang atau dibawah rata-rata. Salah satu terapi untuk pasien disleksia adalah dengan menuliskan angka 8 secara horizontal, dengan arah tertentu, pasien diminta mengikuti pola angka sesuai instruksi, jika masih perlu bimbingan, maka diawal-awal boleh diberikan titik-titik, biasanya terapi ini selesai dilakukan selama sebulan hingga pasien lancar membentuk angka 8 sendiri. Setelah lancar, barulah diajarkan menulis huruf, itupun sesuai pola dari angka 8 horizontal itu. Selesai berbagi ilmu yang kesemuanya aku catat didalam buku catatanku, bu Rena dan ayu (salah satu dari kami diperbolehkan ikut ke dalam ruangan tes) memberikan tes untuk F di lt 1
10.30 Selesai tes, kami diberi banyak informasi hasil tes dari F, ayah dari F menangis setelah diberi tahu bahwa putra pertamanya menderita autis. Ciri paling mudah yang dapat kita ketahui dari penderita autis adalah kontak mata yang tidak fokus kepada lawan bicara. Bu Rena menceritakan bagaimana tester atau psikolog memerlukan inisiatif dan kreativitas yang tinggi untuk memberi tes. Misalnya pada soal "apa yang anda lakukan jika jari anda teriris?" itu menjadi pertanyaan yang sulit untuk anak berkebutuhan khusus seperti F. Maka diperlukan seni komunikasi yang tepat agar testee mengerti dan dapat menjawab dengan baik. Ayu juga ikut bercerita bagaimana F membeo, mengeluarkan kata yang menjadi kata paling akhir yang diucapkan bu Rena sebagai tester. Dan aku sangat terkesan, lebih lagi, kami juga membicarakan tentang profesi psikolog, bagaimana untung dan ruginya psikolog klinis, apa pentingnya s2 dan semacamnya.
08.00 Aku datang tepat waktu untuk jam kerja tim rehab, tetapi disini, di poli psikologi, aku telat 30 menit. Padahal aku sudah berusaha bangun lebih pagi dan jalan dengan cepat tadi di sepanjang perjalanan. Di dalam ruangan ada mba maria, mba citra, hanun, ayu, dan bu rena. Tidak lama kemudian status untuk pasien poli psikologi datang, tadinya hanya empat pasien, langsung aku dan ayu data di dokumen yang tersedia. Belum selesai mencatat, ternyata datang lagi status pasien baru. Psikolog yang praktek hari ini officially hanya bu Vina, jadi mba Maria perlu membicarakan perihal pasien yang bertubi tubi datang di hari ini. Alhasil, total pasien yang ditangani ada tujuh orang, dengan berbagai macam penanganan, misalnya tes IQ (baik untuk pasien normal atau disabilitas), atau konsultasi psikologi.
09.00 Ketika bu Rena datang, mba Maria berinisiatif agar bu Rena membantu satu atau dua pasien yang ditangani bu Vina, kemudian dengan bimbang ia memutuskan membantu tes satu pasien anak. Inisialnya F, ia ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Sebelum bu Rena pergi untuk memberi tes F, ia berbincang bincang bersama kami, mahasiswa magang. Kami bertanya mengenai disleksia, bu Rena menjelaskan dengan detil, disleksia adalah terganggunya kemampuan membaca seseorang, diakibatkan adanya persepsi yang salah pada memori dalam otak. Biasanya dapat dilihat dalam tes IQ, pada bagian tes performance nya yang kurang atau dibawah rata-rata. Salah satu terapi untuk pasien disleksia adalah dengan menuliskan angka 8 secara horizontal, dengan arah tertentu, pasien diminta mengikuti pola angka sesuai instruksi, jika masih perlu bimbingan, maka diawal-awal boleh diberikan titik-titik, biasanya terapi ini selesai dilakukan selama sebulan hingga pasien lancar membentuk angka 8 sendiri. Setelah lancar, barulah diajarkan menulis huruf, itupun sesuai pola dari angka 8 horizontal itu. Selesai berbagi ilmu yang kesemuanya aku catat didalam buku catatanku, bu Rena dan ayu (salah satu dari kami diperbolehkan ikut ke dalam ruangan tes) memberikan tes untuk F di lt 1
10.30 Selesai tes, kami diberi banyak informasi hasil tes dari F, ayah dari F menangis setelah diberi tahu bahwa putra pertamanya menderita autis. Ciri paling mudah yang dapat kita ketahui dari penderita autis adalah kontak mata yang tidak fokus kepada lawan bicara. Bu Rena menceritakan bagaimana tester atau psikolog memerlukan inisiatif dan kreativitas yang tinggi untuk memberi tes. Misalnya pada soal "apa yang anda lakukan jika jari anda teriris?" itu menjadi pertanyaan yang sulit untuk anak berkebutuhan khusus seperti F. Maka diperlukan seni komunikasi yang tepat agar testee mengerti dan dapat menjawab dengan baik. Ayu juga ikut bercerita bagaimana F membeo, mengeluarkan kata yang menjadi kata paling akhir yang diucapkan bu Rena sebagai tester. Dan aku sangat terkesan, lebih lagi, kami juga membicarakan tentang profesi psikolog, bagaimana untung dan ruginya psikolog klinis, apa pentingnya s2 dan semacamnya.
Untung ruginya apa aja kaaakk kepo dong hihihi
BalasHapusTunggu post-an blog-ku selanjutnya yaaa hahaha
BalasHapus