Halaman

Foto saya
Jakarta Barat, DKI Jakarta, Indonesia
Your Future Psychology

Sabtu, 29 Oktober 2011

tragedi kali angke


Sabtu, 08 Januari 2011 | 12:38:57 WIB
batavia.com - Sebagai kota yang sudah berumur lebih dari 400 tahun, tentu menorehkan sejarah termasuk kisah indah dan pahit tentang kehidupan manusia yang ada di dalam kota Jakarta yang pada pemerintahan kolonial Belanda bernama Batavia.
Dibalik perjalanan panjang kota Jakarta, tercatat kisah perjuangan dan tragedi berdarah sehingga menciptakan kisah tersendiri bagi kota Jakarta.
Diantaranya, ada kisah mengenaskan yaitu pembantaian massal yang dilakukan penguasa VOC pada tahun 1740 atas orang etnis Tionghoa. Tragedi kemanusiaan itu menewaskan hampir 10.000 orang etnis Tionghoa dibantai secara sadis di kawasan Kali Angke.


Kisah kelam ini berawal dari memanasnya hubungan antara pemerintah VOC Belanda dengan kaum imigran Tionghoa yang ada di Batavia saat itu. Merosotnya perdagangan VOC akibat kalah bersaing dengan Maskapai Perdagangan Inggris, The Britisch East India Company yang berpusat di Callcuta, India dalam perebutan hegemoni perdagangan bangsa-bangsa Eropa (1602-1799) berbuntut pada tekanan terhadap seluruh wilayah jajahan VOC termasuk Hindia Belanda.
Untuk mengatasinya, Heeren XVII(Kamar dagang VOC) menekan Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia agar dapat memaksimalkan jumlah pendapatan dan aliran dana segar ke kas VOC. Ditambah lagi besarnya pengeluaran angkatan perang VOC akibat pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan kolonial di Nusantara serta terus meningkatnya jumlah imigran Tionghoa yang berhasil dalam bidang perdagangan di Batavia. Lalu pemerintahan VOC menganggap, jika dibiarkan akan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan dagang VOC di negeri ini.


Untuk memecahkan masalah tersebut,Dewan Hindia Belanda dan Gubernur Jendralnya (saat itu dijabat oleh Valckeneir ) sepakat melakukan jalan pintas dengan menggalakkan program tanam paksa bagi warga bumiputera. Sementara bagi para etnis keturunan dan para imigran Tionghoa yang saat itu tergolong lebih berhasil dikenakan berbagai aturan dengan tujuan pemerasan.
Pemerintahan VOC memberlakukan program “Surat Ijin Tinggal” dengan masa waktu terbatas bagi seluruh etnis Tionghoa yang tinggal di dalam tembok maupun diluar tembok Batavia.Selain keras, aturan ini juga menjatuhkan sanksi hukuman penjara dan denda, hingga pengusiran etnis Tionghoa dari seluruh wilayah Hindia Belanda, jika tidak memiliki surat ijin tinggal.


Pada awal penerapannya, pemerintah VOC beralasan bahwa program itu untuk membersihkan wilayah Batavia dan sekitarnya dari para pendatang ilegal yang selalu mengganggu ketertiban. Memang, saat itu kondisi kota Batavia menjadi tidak teratur, diserbu para imigran terutama Tionghoa. Tempat perjudian dan hiburan tumbuh bak jamur di musim hujan.


Pada 1719 tercatat sebanyak 7.550 jiwa imigran Tionghoa menetap di Batavia dan pada 1739 meningkat hingga sekitar 10.574 jiwa. Mereka tinggal di dalam dan luar tembok Batavia. Kemudian 25 juli 1740 pemerintah VOC Belanda mempertegas pelaksanaan program surat ijin tinggal itu dengan mengelaurkan resolusi yang isinya “penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan seluruh warga Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal diwilayah Batavia”.


Resolusi pemerintahan VOC membuat warga etnis Tionghoa terpukul karena dijadikan korban, sementara menciptakan peluang korupsi bagi oknum pemerintah. Sedangkan kalangan dewan menilai sangat baik, karena selain meningkatkan pendapatan dari sisi pajak, juga dijadikan alat kontrol terhadap semua aktivitas bisnis warga Tionghoa.


Aturan tersebut membuat warga Tionghoa mengalami kebangkrutan, bahkan banyak diantara pedagang Tionghoa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat tidak kuat membayar pajak yang diberlakukan pemerintahan VOC Belanda. Kemudian muncul ketidak puasan yang dilanjutkan dengan perlawan terhadap pemerintahan VOC. Sehingga sejak September 1740 mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil di luar komplek tembok Batavia.
Aksi perlawanan akhirnya memuncak pada 7 Oktober 1740. Saat itu, lebih dari 500 orang Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke Kompleks Benteng Batavia. Setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara bersamaan. Lalu, 8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi disemua pintu masuk Benteng Batavia. Ratusan etnis Tionghoa yang berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah pimpinan Van Imhoff.


9 Oktober 1740, dibantu dengan altileri berat pasukan VOC berhasil menguasai keadaan dan menyelamatkan Kompleks Batavia dari kerusuhan. Pasukan kaveleri VOC mulai mengejar para pelaku kerusuhan. Seluruh rumah dan pusat perdagangan warga Tionghoa yang berada di sekitar Batavia digeledah dan dibakar. Termasuk rumah Kapiten Tionghoa Nie Hoe Kong yang dianggap sebagai otak kerusuhan. Ribuan warga Tionghoa yang selamat dari kerusuhan diburu dan dibunuh tanpa perduli apakah terlibat atau tidak dalam peristiwa pemberontakan tersebut.
Banyak diantara mereka dibiarkan lari kearah kali sebelum akhirnya dibantai oleh para prajurit yang telah menunggu kedatangan mereka. Sempat terjadi silang pendapat prihal lokasi tempat pembantaian yang dilakukan tentara VOC Belanda. Beberapa sumber menyatakan bahwa kali yang menjadi lokasi pembantaian adalah Kali Angke, hingga peristiwa pembantaian ini diabadikan dengan nama “Tragedi Angke”. Namun ada pula yang berpendapat bahwa pembantaian sebenarnya tidak terjadi di Kali Angke melainkan di Kali Besar, karena letaknya lebih dekat ke Tembok Batavia.
Kali Angke hanyalah merupakan titik akhir lokasi penemuan ribuan mayat korban pembantaian yang hanyut di air.


Aksi pengejaran terhadap warga etnis Tionghoa terus berlanjut. Malam hari 9 Oktober 1740, prajurit VOC kembali melakukan penyisiran guna mencari sisa-sisa etnis Tionghoa yang bersembunyi dirumah atau bangunan lain diseputar Batavia. Pembantaian kali ini lebih sadis karena melibatkan budak dan warga bumiputera yang sengaja dibakar amarahnya. Bahkan menurut cerita Gubernur Jendral Valckeneir sempat menjanjikan hadiah sebesar 2 dukat per kepala etnis Tionghoa yang berhasil dipancung.


10 Oktober 1740, setelah peristiwa pemberontakan mereda, Gubernur Jendral Valckeneir kembali memerintahkan prajuritnya guna mengumpulkan seluruh warga Tionghoa yang tersisa termasuk yang terbaring di rumah sakit maupun di penjara. Mereka dikumpulkan didepan Stadhuis Gedung Balaikota (sekarang Muesum Fatahillah) untuk menjalani eksekusi hukum gantung.


Pasca tragedi kemanusiaan itu, tercatat warga etnis Tionghoa yang selamat sebanyak 3.441 jiwa. Terdiri dari 1.442 pedagang, 935 orang petani, 728 orang pekerja perkebunan, dan 336 orang pekerja kasar. Peristiwa pembantaian etnis ini merupakan kisah terburuk sepanjang sejarah perjalanan kota Jakarta. 0 sumber: Tragedi Berdarah Angke / Hembing Wijayakusuma 2005/edison

28 oktober


SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :
  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel
Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
  1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
    di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
    Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
    Kong Liong.
  2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
    Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
    yaitu :
    a. Kwee Thiam Hong
    b. Oey Kay Siang
    c. John Lauw Tjoan Hok
    d. Tjio Djien kwie

Sejarah Sumpah Pemuda

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda.
Rapat Pertama, Gedung Katholieke Jongenlingen Bond
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat Kedua, Gedung Oost-Java Bioscoop
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Rapat Ketiga, Gedung Indonesisch Huis Kramat
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Informasi Tentang Museum SUMPAH PEMUDA
Terhitung mulai tanggal 2 Mei 2010 jam buka Museum Sumpah Pemua
Selasa-Jum’at : 08.00-15.00 WIB
Sabtu-Minggu : 08.00-14.00 WIB
Senin/hari besar : tutup
Ticket Masuk Perorangan
Dewasa – Rp 2000,00
Anak-anak – Rp 1000,00
Wisatawan asing- Rp 10.000,00
Rombongan
Dewasa – Rp 1000,00
Anak-anak – Rp 500,00
Alamat Museum
Museum Sumpah Pemuda
Jl. Kramat Raya No. 106
Jakarta 10420
Indonesia
Telp. (62-021) 3154546 (hunting) ext 11, 14, 15, 16
Fax. (62-021) 3154546 ext 18
e-mail :musda@cbn.net.id

Kronologis waktu perkembangan Gedung Sumpah Pemuda
Commensalen Huis, 1908
Indonesische Clubhuis/Clubgebouw, 1927
Gedung Sumpah Pemuda, 1928
Rumah Tinggal, 1934 – 1937
Toko Bunga, 1937 – 1948
Hotel Hersia, 1948 – 1951
Kantor Inspektorat Bea&Cukai, 1951 – 1970
Museum Sumpah Pemuda, 1973 – Sekarang
Commensalen Huis, 1908
Menurut catatan yang ada, Museum Sumpah Pemuda pada awalnya adalah rumah tinggal milik Sie Kong Liang. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20. Sejak 1908 Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal dengan nama Commensalen Huis. Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
Indonesische Clubhuis/Clubgebouw, 1927
Sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106. Di gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI. Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Gedung Sumpah Pemuda, 1928
Pada 15 Agustus 1928, di gedung ini diputuskan akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua pada Oktober 1928. Soegondo Djojopuspito, ketua PPPI, terpilih sebagai ketua kongres. Kalau pada Kongres Pemuda Pertama telah berhasil diselesaikan perbedaan-perbedaan sempit berdasarkan kedaerahan dan tercipta persatuan bangsa Indonesia, Kongres Pemuda Kedua diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju. Di gedung ini memang dihasilkan keputusan yang lebih maju, yang kemudian dikenal sebagai sumpah pemuda.
Rumah Tinggal, 1934-1937
Setelah peristiwa Sumpah Pemuda banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw karena sudah lulus belajar. Setelah para pelajar tidak melanjutkan sewanya pada tahun 1934, gedung kemudian disewakan kepada Pang Tjem Jam selama tahun 1934 – 1937. Pang Tjem Jam menggunakan gedung itu sebagai rumah tinggal.
Toko Bunga, 1937-1948
Kemudian pada tahun 1937 – 1951 gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga (1937-1948).
Hotel Hersia, 1948-1951
Dari tahun 1948 – 1951 gedung berubah fungsi menjadi Hotel Hersia.
Kantor Inspektorat Bea & Cukai, 1951-1970
Pada tahun 1951 – 1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran dan penampungankaryawannya.
Museum Sumpah Pemuda, 1973-Sekarang
Pada tanggal 3 April 1973, Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta. Pemugaran selesai 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.
auditorium-lagu-indonesia-raya auditorium-lagu-indonesia band-black-and-white-wr-supratman bangunan-lama-museum undangan-kongres-pertama teras-museum-kiri

Jumat, 28 Oktober 2011

lapangan monas

sumber : http://snakewoman.multiply.com/journal/item/21/Monas
Sejarah Lapangan Merdeka yang lebih ngetop dipanggil kawasan Monas itu ternyata panjang lho, dari asal namanya aja deh, Monas mengalami lima kali pergantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Dari namaLapangan Gambir, ini sejarahnya kembali waktu jaman Daendels yang merubah lapangan buffelsveld (lapangan kerbau) yang lokasinya itu taman Monas skarang,tempat ini dialokasikan sebagai tempat latihan militer, yang dulu dipanggil Champs de Mars, yang sesudah masa kuasa sementara Inggris, tempat ini dirubah lagi jadi Koningsplein (lapangan raja) karena gubernur jendral Inggris mulai tinggal di Istana yang merupakan istana Merdeka yang sekarang ini yang dulu dipanggil Istana Gambir (duuuh sejarah banget yah..hehe)

Dari Lapangan Gambir, berubah lagi jadi Lapangan Ikada, terbayang dari cerita cerita perjuangan dulu, konon, para rakyat yang cinta dan hormat pada Presiden Soekarno tetap dengan semangat mendengarkan beliau berpidato sementara tentara Jepang berjaga di sekeliling dengan menodongkan bayonetnya.

Lapangan Merdeka, dimasa setelah itu, tepatnya tahun 1960, Presiden Soekarno yang terkenal punya pemikiran yang 'futuristik' merencanakan membangun sebuah tugu, monumen, yang bisa mengingatkan orang akan Indonesia, dibantu oleh penasehat Ruseno dan arsitek Soedarsono, di areal seluas 80 hektar, tugu peringatan peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat melawan penjajah Belanda ini diselesaikan secara fisik tahun 1967, dengan biaya 7 milyar yang didapat dari sumbangan seluruh rakyat Indonesia, tugu peringatan nasional ini kemudian lebih dikenal sebagai tugu Monas. Ada lelucon yang menyebutkan kalau Tugu Monas ini sebagai 'The Last Erection of Soekarno', hehe.., di masa itu, Soekarno sebenarnya mempunyai 2 buah proyek, yang pertama membangun Tugu Monas ini dan yang lain adalah membangun Masjid Istiglal, dan karena ide pembangunan Tugu Monas ini mendapat tentangan dari berbagai pihak yang menganggap ini sebagai suatu pemborosan biaya yang sia sia, justru Soekarno memilih untuk menyelesaikan tugu ini terlebih dahulu, dengan pemikiran, kalau setelah pembangunan ini selesai dan ada sesuatu terjadi dengannya, maka penerusnya pasti akan meneruskan rencana untuk membangun Masjid Istiglal, yang belum tentu terjadi kalau dia memilih membangun Masjid Istiglal terlebih dahulu.

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obelik yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini, juga simbol negative dan positive, tingginya 137 meter melambangkan dan mencerminkan identitas, sejarah dan cita-cita bangsa Indonesia, dibangun untuk mengenang dan menandai kebebasan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta menimbulkan inspirasi bagi generasi sekarang dan generasi masa datang dalam mengisi kemerdekaan.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan mulanya dilapisi emas 35 kg. Dan waktu 17 Agustus 1995,lapisan emas itu ditambah lagi 15 kg, sebagai hadiah kemerdekaan Indonesia yang ke 50, yang merupakan sumbangan dari para pengusaha di Indonesia.

Konon, kalau kita melihat emas yang ada di atas monumen ini diwaktu malam, disinari lampu lampu, dari arah Istana Negara, lengkungan lidah api itu akan berupa seorang wanita memakai kebaya, duduk bersimpuh menghadap ke Istana, silahkan coba deh kalau ngga percaya...

Kalau kita memasuki ruangan yang ada di dasar monumen ini, kita akan menjumpai beberapa ruangan, diantaranya ruang musium sejarah, jendela jendela peraga pada keempat dindingnya menggambarkan sejarah perjuangan bangsa dalam bentuk 48 buah diorama, diantaranya diorama Proklamasi Kemerdekaan, disini kita bisa mendengar suara dari Presiden Soekarno ketika tengah membacakan Proklamasi dan diorama Kesaktian Pancasila.

Lapangan Monas, tugu Monumen Nasional resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975 dengan SK Gubernur DKI, Ali Sadikin. Disekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur,Minggu atau libur sekolah banyak masyarakat yang berkunjung kesini.Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga keatas dengan menggunakan elevator. Dari Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta yang semakin padat sampai ke tepian laut Jawa, dengan catatan kalau tidak tertutup kabut polusi yah.. :p

Dulu untuk memasuki monumen ini kita melewati terowongan bawah tanah yang dinding dindingnya tertutup marmer, Pintu masuk utama-yang dirancang arsitek Indonesia tersohor masa Bung Karno, Soedarsono-berupa sebuah terowongan bawah tanah. Terowongan itu berada di dekat patung Pangeran Diponegoro, yang merupakan hadiah dan hasil karya pemahat Italia tersohor, Prof Corbeltado.

Terowongan itu kini tidak jelas nasibnya. Sebab, pintu masuk tak lagi melalui terowongan itu, dengan alasan terlalu jauh dari lokasi parkir. Pengelolaan pun tidak lagi menjadi satu dengan pengelolaan Tugu Monas yang ditangani Kantor Pengelola Taman Monas.

Informasi tentang Monas pun minim. Tak seperti dulu, setiap pengunjung yang masuk dibagikan brosur ataupun buku panduan wisata ke Monas. Sekarang, hanya pengunjung yang kritis dan meminta brosur sajalah yang diberikan brosur.

Taman Monas, sekarang, pengunjung yang baru pertama kali datang ke lokasi wisata ini harus berputar mengelilingi kawasan Monas dan bertanya kepada para petugas banpol yang berjaga di setiap pintu masuk. Barulah mereka akan menemukan lokasi parkir, yakni berada di sisi selatan atau tepatnya di seberang Gedung Balaikota DKI.Setelah masuk, para pengunjung harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk bisa mencapai monumen itu.

Dulu, setiap membawa rombongan city tour, bis bisa berhenti di lapangan sepatu roda yang ada tepat di samping kiri Istana, jadi bisa dengan enak menjelaskan tentang monumen Monas, trus beralih ke sejarah Istana Negara yang ada tepat disebrangnya, tapi sejak kawasan ini jadi kawasan tertutup, karena dikelilingi pagar besi setinggi 2.5 m, jadi ngga jelas lagi dimana sebenarnya bisa berhenti, pintu pintu pagar itu dijaga banpol, dan bisa terbuka dengan catatan asal rela membayar 'uang cape' buka pintu sebesar 20-30 ribu rupiah, hehe..

Kawasan Taman Monas ini, dulu pernah dijadikan kawasan tempat diselenggarakannya ‘Jakarta Fair’ sebelum dipindahkan ke kawasan Kemayoran sampai sekarang, trus juga pernah jadi kawasan untuk penanaman ' sejuta pohon', juga pernah dijadikan kawasan yang binatang dan burung burung di dalamnya itu dilindungi, trus juga pernah jadi kawasan 'Tabliq akbar sejuta umat', juga menjadi kawasan favorit untuk demonstrasi para mahasiswa, tempat bermain sepatu roda, kawasan teh botol 5000 rupiah plus bonus mijit dan megang megang dikit, hehe..,dan kawasan yang dikenal sebagai kawasan 'angker' karena konon dimalam malam tertentu bisa dijumpai sosok kuntilanak yang terbang melayang dari pohon ke pohon, tapi sekarang rasanya tidak lagi saudara saudari, hehe.., kawasan ini jadi kawasan tertutup.

Tahun 1811, Sir Thomas Stamford Raffles mendatangkan 12 ekor rusa totol (Axis axis) yang berbulu kemerahan dengan totol totol putih dan tanduk yang megah dari India, rusa rusa itu dilepaskan di halaman Istana Bogor, dan sekarang populasinya ada sekitar 500 ekor, dan skian ratus tahun kemudian , Sir Sutiyoso ternyata berniat juga untuk memindahkan 11 ekor rusa dari Istana Bogor mengisi halaman dari Lapangan Monas ini, dengan harapan, rusa rusa ini bisa berkembang biak, dan bisa jadi hiburan rakyat Jakarta, cuma ternyata rencana ini terbentur ijin dari Sekneg, padahal sudah sekian banyak biaya dikeluarkan untuk menciptakan kawasan yang 'rusa friendly', maka daripada kehilangan muka dan hilang wibawa, Sir Sutiyoso terpaksa minjam 11 ekor rusa tutul hasil penangkaran Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kebun Binatang Ragunan (KBR) Jakarta. Sayangnya, salah seekor rusa yang "dialihkan" dari BIN dan KBR itu keburu stres dan ayan, lalu kelojotan patah kaki lalu mati muda, dan walaupun ada banyak kritik dan protes terhadap rencana ini, Sir Sutiyoso tetap ‘kekeuh jumekeuh’ dan rencana memelihara rusa rusa di bagian Taman Monas akhirnya terealisasi waktu 22 Juni 2003, bertepatan dengan HUT DKI Jakarta ke 476.

patung patung dijakarta


Patung itu namanya Tugu Tani. Kalau yang satu itu Patung Pancoran. Demikian kira-kira kalimat seorang ibu kala anaknya menanyakan tentang kedua patung yang dilihatnya baik langsung maupun via TV. Hampir semua orang sudah cukup maklum dengan keberadaan patung-patung di atas, juga beberapa patung yang banyak bertebaran di seputaran kota Jakarta. Sebagai ibukota negara, wajar saja jika terlihat banyak patung menghiasi berbagai sudut kota dan tempat-tempat umum di kota ini. Namun, jadi satu tanda tanya, adakah kita benar-benar mengenal patung-patung itu terutama mengetahui latar belakang dibuatnya patung tersebut?
Mungkin tidak semua orang tahu, apa sih nama sebenarnya dari beberapa patung/tugu yang tepat berada di Kota Metropolitan, Jakarta..? Hal unik inilah yang akan diulas secara singkat mengenai beberapa patung di Jakarta, kota dengan semboyan Jaya Raya ini. Berikut adalah goresan tinta untuk kita mengenal lebih dekat lagi serta memahami apa dan mengapa patung itu dibuat.
Patung Selamat Datang
Patung yang lebih populer disebut Patung Bundaran HI ini, nama sebenarnya adalah Patung Selamat Datang. Patung ini terdiri dari tugu setinggi lebih kurang 30 meter dari tanah dengan sepasang pemuda pemudi diatasnya sedang melambai tangan penuh semangat.Tinggi patung dari kepala sampai kaki 5 meter. Sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah 7 meter. Tugu/patung ini ditempatkan di tengah bundaran besar di tengah persimpangan jalan, pertemuan Jl. Sudirman dan Jl. MH. Thmrin, Jakarta. Bundaran itu sendiri berupa kolam air mancur yang amat indah.
Patung Selamat Datang dibangun untuk mengucapkan selamat datang kepada para atlet yang akan berlaga di Asian Games IV yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1962. Patung yang tepat berada di depan Hotel Indonesia itu, selain menjadi gerbang masuk Kota Jakarta, juga merupakan pintu gerbang dalam rangkaian kegiatan pertandingan yang diselenggarakan di Istora Senayan masa itu. Mengapa demikian? Karena waktu itu kebanyakan tamu asing yang datang ke Jakarta melalui Bandara International Kemayoran dan singgah/menginap di Hotel Indonesia yang juga sengaja dibangun sebagai tempat bagi tamu asing tersebut. Asumsinya, sebelum masuk ke area hotel mereka mendapatkan ucapan selamat datang dari patung ini.
Adapun Tugu/patung yang terbuat dari Perunggu itu diresmikan oleh Presiden Soekarno pada Tahun 1962. Sketsa atau rancangan Patung Selamat Datang buat oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung, dan pelaksana pembuatannya dikerjakan oleh Edhi Sunarso dalam kurun waktu satu tahun.
Patung Pahlawan
Karena bentuk patung ini menggambarkan seorang pria menggunakan caping (topi tani) dengan seorang Ibu yang sedang memberikan sebuah piring, banyak masyarakat menamakan patung ini Tugu Tani. Nama sesungguhnya dari patung ini adalah Patung Pahlawan.
Patung ini adalah pemberian dari Pemerintah Uni Soviet untuk Indonesia. Selain sebagai hadiah, patung ini juga sebagai manifestasi dari persahabatan kedua Negara. Patung tersebut dibuat oleh pematung ternama asal Rusia Matvel Manizer dan Otto Manizer di Uni Soviet. Kemudian dikirim ke Indonesia (Jakarta) menggunakan kapal laut. Lalu diresmikan pada Tahun 1963 dan terdapat sebuah plakat yang menempel di bawah patung yang berbunyi “HANJA BANGSA JANG MENGHARGAI PAHLAWAN PAHLAWANNJA DAPAT MENJADI BANGSA JANG BESAR”.
Mengapa Uni Soviet buatkan patung pahlawan dengan tema petani? Kala itu Presiden Soekarno melakukan kunjungan resmi ke sana dan diperkenalkan kepada dua orang pematung tersebut di atas. Diundanglah mereka berdua oleh Presiden Soekarno ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi mengenai perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Pada saat itu dimaksudkan untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
Mereka pun mendatangi sebuah desa di wilayah Jawa Barat dan bertemu dengan penduduk setempat. Di desa tersebut kedua pematung ini mendengar sebuah kisah tentang seorang Ibu yang mengantar anaknya menuju medan perang. Sang Ibu memberikan dorongan semangat dan keberanian kepada sang anak untuk bertekad memenangkan perjuangan, dan juga agar selalu ingat akan orang tua dan tanah airnya. Ia kemudaian membekali anak laki-lakinya dengan nasi hasil tanakannya. Begitulah kisah yang mereka dengar dari rakyat di kawasan Jawa Barat. Cerita inilah yang menjadi Inspirasi dan kemudian mereka kembali ke Uni Soviet, kemudian dibuatlah patung itu yang diberi nama Patung Pahlawan.
Lokasi yang diambil untuk penempatan patung berbahan perunggu hingga saat ini dinilai sangat strategis, karena merupakan titik pertemuan arus lalu lintas sehingga dapat terlihat dari berbagai penjuru. Markas Korps Komando Angkatan Laut Republik Indonesia yang pada masa itu sedang berjuang membebaskan Irian Barat, berada tak jauh dari tempat ini.
Patung Dirgantara
Terletak di Jalan Gatot Subroto atau berseberangan dengan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia saat itu (Wisma Aldiron). Kebanyakan orang terutama warga Jakarta mengenal patung tersebut sebagai Patung Pancoran, sebenarnya patung ini bernama Patung Dirgantara.
Ide pembuatan patung ini tercetus langsung oleh Presiden Soekarno, karena beliau melihat keberanian atau kesatriaan dalam hal kedirgantaraan Indonesia. Namun bukan kendaraan/pesawatnya yang ditekan dalam pembuatan patung ini, melainkan dilihat dari sisi manusianya yang mempunyai sifat jujur, berani, dan bersemangat mengabdi kepada negara. Hingga dilambangkan dalam bentuk manusia yang mempunyai semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa. Perancang Patung Dirgantara adalah Edhi Sunarso dan dikerjakan oleh pematung keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso dengan lama pembuatan 1 tahun (1964 – 1965).
Patung ini terbuat dari perunggu, mempunyai berat 11 Ton dan terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing potongan beratnya 1 ton. Dalam menyusun potongan-potongan patung tersebut menggunakan alat pemasangan sederhana yaitu dengan menggunakan derek tarikan tangan. Selama proses pemasangan patung tersebut, Bung Karno selalu menungguinya hingga cukup merepotkan personil keamanan (aparat negara) dalam menjaga orang no.1 Indonesia ini. Dengan biaya pemasangan dari kantong pribadinya serta tekad yang bulat agar patung tersebut selesai dipasang, Bung Karno rela menjual sebuah mobil pribadinya. Pada akhirnya Patung Dirgantara selesai terpasang di akhir tahun 1966.
Patung Pembebasan Irian Barat
Dari keseluruhan patung-patung yang E-I ulas, patung inilah yang mempunyai bentuk dengan kharisma dan aura yang berbeda. Patung itu adalah Patung Pembebasan Irian Barat yang lebih beken disebut Patung Lapangan Banteng karena berada di dalam area Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Patung ini dibuat pada Tahun 1962, dimana pada saat itu bangsa Indonesia sedang berjuang untuk membebaskan wilayah Irian Barat (Irian Jaya, kemudian sekarang menjadi Papua) dari tangan Penjajah (Belanda). Patung ini tercipta atas ide Bung Karno pada saat Beliau sedang pidato di Yogyakarta dalam menggerakan massa untuk membantu membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat. Yang kemudian diterjemahkan oleh Henk Ngatung dalam bentuk sketsa.
Bentuk patung ini menggambarkan seseorang yang telah bebas dari belenggu (Penjajah Belanda). Patung itu terbuat dari perunggu dengan berat 8 ton, berdiri di atas tugu berbentuk palang tinggi kokoh setinggi 15 meter. Tinggi patung dari kaki hingga kepala adalah 9 meter atau tinggi keseluruhan sampai ujung tangan kurang lebih 11 meter. Patung ini diresmikan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1963.
Kini, kita sebagai warga negara Indonesia patut bangga dan mengaggumi segala jerih payah generasi terdahulu kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kebanggaan dan kekaguman tersebut terutama kepada Presiden Republik Indonesia Pertama Ir. Soekarno yang telah mematrikan jasa-jasa pahlawan bangsa dan semua kerja keras Bangsa Indonesia dalam bentuk Tugu/Patung agar kita yang hidup di zaman kini dan masa mendatang dapat mengenang semua pengorbanan tersebut. Bahkan, keberadaan patung-patung itu kiranya akan memberi keteladanan, motivasi, dan inspirasi bagi kita semua dan generasi mendatang dalam melanjutkan perjuangan dan kerja keras Bangsa membangun negara ini.
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah luntur ditelan zaman dan akan tetap lestari dalam ingatan setiap anak negeri di nusantara ini. Tutur demi tutur dari generasi ke generasi akan selalu sambung-menyambung, mengingatkan anak-cucu bangsa ini, tentang kedigdayaan dan heroisme generasi masa lalu. Patung-patung itu senyatanya tidak dapat berkata apa-apa, namun mampu menceritakan semuanya untuk selamanya. Selama mereka masih di sana, selama patung-patung itu masih tegak berdiri dengan kokoh di sana, di tempatnya kini. Oleh karena itu, amat tidak berlebihan, jika kita yang hidup sekarang ini berusaha keras menjaga, merawat dan melestarikannya. Lebih daripada itu, apakah generasi kita (baca: pemerintah) saat ini mampu memberikan kontribusi melahirkan patung-patung penghias kota di masing-masing daerah yang akan menjadi sumber inspirasi bagi bangsa ini? Semoga. (teks&foto: Yosef Ferdyana

pasar baroe


Sejarah Pasar Baru - Jakarta

Pasar Baru Dulu & Kini


Mengintip Kejayaan "Passer Baroe" di Masa Lampau






Kejayaan "Passer Baroe" sudah diketahui di masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dulu.
Daerah "Passer Baroe" dulu tidak hanya dikenal sebagai daerah elite karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Kompeni Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia. Ya, sekarang ini mirip kawasan Menteng atau Pondok Indah.


Di daerah pasar itu juga dikenal sejumlah tukang sepatu di masa Batavia dulu. Salah satu yang sangat terkenal bernama Sapie Ie. Pria keturunan Cina ini oleh pejabat-pejabat Kompeni Belanda dipercaya membuat bahkan memperbaiki sepatu dengan hak tinggi. Ya sepatu prajurit, ya sepatu untuk keperluan pesta. Namun Sapie Ie lebih dipercaya untuk membuat sepatu pesta. Soal ongkos, para pejabat Kompeni Belanda tidak dibuat pusing. Yang penting kualitas dijamin!



Pasar Baru 1898




Dalam buku bertajuk "Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen", secara gamblang dijelaskan peran tukang sepatu Sapie Ie di daerah "Passer Baroe". Justus van Maurik, sang penulis buku tersebut, menceritakan bagaimana ia terpaksa harus berhubungan dengan Sapie Ie hanya karena harus mengenakan sepatu hak tinggi untuk memenuhi undangan sebuah pesta dansa di Gedung Harmonie. "Saya kaget ketika menerima surat undangan untuk menghadiri pesta dansa dari Gubernur Jenderal van der Wijck," tulis Justus van Maurik dalam bukunya itu. Dalam undangan yang disampaikan langsung Gubernur Jenderal van der Wijck tersebut disebutkan bahwa pesta dansa dilakukan pada Minggu, 2 Agustus tepat pukul 21.00 malam. Justus pun bersiap diri.


Ia mulai menyiapkan pakaian yang terbaiknya hanya untuk menghormati surat undangan Gubernur Jenderal van der Wijck. Celana panjang, rompi dan jas warna hitam telah disiapkan. Namun sayangnya, sepatu yang dimilikinya ternyata tidak pas untuk sebuah pesta dansa, apalagi yang digelar Gubernur Jenderal van der Wijck. Oleh teman-temannya ia disindir habis karena sepatu bututnya itu. "Masa kamu mau hadiri pesta dansa pakai sepatu butut itu?" sindir rekan-rekan Justus.


Atas desakan salah seorang temannya yang sudah lebih dulu menetap di Kota Batavia, Justus disarankan untuk memesan sepatu lak ke tukang sepatu Sapie Ie di "Passer Baroe". Dengan ramah Sapie Ie menerima pesanan sepatu lak Justus. Karena kakinya agak besar maka Sapie Ie meminta tambahan ongkos sebesar 50 sen.



Pasar Baru 1900




Uniknya, memesan sepatu dari Sapie Ie, si pemesan bisa menunggu. Sambil menunggu sepatu pesanannya selesai, Justus van Maurik jalan-jalan dulu mengitari daerah Rijswijk (kini Jalan Veteran). Lama memang, tapi yang penting bagi Justus bisa ikut pesta dansa. Dalam hitungan jam akhirnya sepatu hak pesanan itu selesai. Sayangnya, ketika dicoba ternyata agak sempit. Tapi kereta jemputan untuk mengikuti pesta sudah di depan mata, maka dengan jalan agak kesakitan Justus van Maurik melupakan rasa sakit kakinya itu.


Usai pesta Justus melepaskan sepatunya yang katanya sempit itu. Begitu dibuka di dalamnya ada bon utang. Di ujung sepatu lak kiri ada bon tagihan yang dilipat rapi. Ya, mungkin karena ketika itu Sapie Ie si tukang sepatu enggan menagih kekurangan pembayaran sepatu sehingga ia menaruh bon tagihan di dalam sepatu. Akibat ulah itu kaki Justus van Maurik bengkak. Keesokkan harinya ia mendatangi toko Sapie Ie dan membayar bon pembuatan sepatu lak itu.



Pasar Baru 1901






Lomba Perahu


Sungai Ciliwung yang melintas di "Passer Baroe" sering digunakan untuk lomba perahu. Orang menyebutnya Kali Passer Baroe waktu itu. Nah, di masa Kota Batavia dulu di tempat yang sama juga digelar lomba perahu untuk memperebutkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan, cita dan bahkan sebungkus kecil candu seharga 32 sen.


Lomba perahu di Ciliwung dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Semasa Batavia dulu memang daerah itu dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar. Di sana banyak bermukim orang-orang Cina yang tidak betah menetap di daerah Pecinan Glodok. Sebagian dari mereka memilih membuka toko di "Passer Baroe".



Pasar Baru 1910




Tradisi pesta Peh Cun digelar tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, para pedagang di pasar itu sejenak melupakan bisnisnya dan beramai-ramai berkumpul di sepanjang Ciliwung untuk menyaksikan penyelenggaraan Peh Cun. Puluhan perahu yang dihias di antaranya ada yang dihias dengan topeng kepala naga berlaga di Kali "Passer Baroe" itu. Semua orang tumpah ruah di sana (tak cuma etnis Cina) tapi juga penduduk di sekitar kali itu. Sorak-sorai bergema di sana apalagi begitu perahu-perahu itu berlomba untuk mendapatkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan. Dan juga ditaruh sebungkus kecil candu seharga 32 sen. Etnis Cina memang sudah sejak lama dikenal gemar candu. Makanya, tak heran jika di Kota Batavia dulu, pemerintah Kompeni Belanda mematok pajak candu bagi rumah-rumah candu.



Pasar Baru 1915





Pasar Baru 1920





Pasar Baru 1935





Pasar Baru 1949



Pasar Baru 1955




Dan sebagai pusat perbelanjaan tertua di Ibu Kota Jakarta. Pasar Baru memiliki agenda tahunan – saban ulang tahun Jakarta, 22 Juni – Pasar Baru ikut nimbrung dalam sebuah kemasan yang dinamakan "Festival Passer Baroe". Sayangnya, "Passer Baroe" — begitu dulu dinamakan orang, kini dikenal sebagai Pasar Baru — perlahan-lahan mulai tampak kalah pamor menyusul menjamurnya pusat perbelanjaan modern seperti mal dan plaza yang menampung kerakusan belanja warga Jakarta.


Sadar bahwa Pasar Baru kini mulai ditinggalkan orang, lantas dikeluarkan wacana untuk menjadikan kawasan belanja yang dikenal tahun 1070-an itu menjadi tempat untuk kongkow-kongkow seperti Cilandak Town Square (Citos) di bilangan selatan Jakarta.


Pasar Baru 2001







Sumber: Sejarah Pasar Baru - Jakarta - IndoForum http://www.indoforum.org/t24871/#ixzz1c3j684ud
Hak Cipta: www.indoforum.org